Dua mahasiswa sedang menari diiringi lagu cinta di depan
gedung Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat senin (11/02). Pertunjukan
Koreografi yang berjudul “Senja” tersebut digelar dalam rangka Ujian Koreografi
oleh Ressa Rizky MH yang menekuni Fakultas Seni Pertunjukan di Institut
Kesenian Jakarta. Pertunjukan Koreografi yang dimulai dari jam lima sore itu
dihadiri oleh dosen pembimbing di tengah-tengah penonton.
Putri Oktaviani
jangan katakan tidak bisa kalau kau belum mencoba sampai mati.
Rabu, 20 Februari 2013
Senja
Selasa, 17 Juli 2012
Keadilan
Langkah kakinya gontai
Menyebrang pulau
membelah laut
Mahkluk sesamanya
hiraukai ia
Aksinya menakutkan
sesamanya
Semua untuk keadilan
Untuk ia dan anaknya
Ia gendong mayat si
anak
Demi mencari sang
keadilan
Terus menggendong
menuju keadilan
Harapnya tak kunjung
datang
Takdir Hidup
Aku masih ingat
terlahir dikelilingi hutan
Bulan purnama ikut
menyaksikan
Diiringi gemuruh awan
hitam
Di atas gunung
Sifatku mirip mereka
yang menggonggong
Tatapan tajam mata
coklat
Terlihat disegani
orang-orang lemah
Mereka takut akan
fisik dan kebiasaanku
Mereka selalu bilang
aku seperti serigala
Tidak!
Aku adalah aku yang
terpaksa
Ini ingin takdir tanpa
disengaja
Aku suka ini, hidup
ini
Mencengkram jiwa-jiwa
lemah
Aku terpaksa, suka
akan keterpaksaan
Tak pernah tahu
bagaimana
Bentuk sebuah perubahan
Mereka tak pernah
mengajariku menjadi kupu-kupu
Disukai banyak orang
dan indah melayang ke sana ke mari
Tak tahu kapan takdir
ini berubah
Hingga ajal menjeput
Mata coklat masih
melekat dalam diriku
Gigi taring tak pernah
menjadi susu
Ketoprak untuk Hidup yang Lebih Baik
Laki-laki tambun dan pendek ini telah berhasil
membahagiakan keluarga dari hutang-hutang dan hidup yang kelam.
Ketika menyebut nama “Bejo Ketoprak” dari daerah Gudang Seng sampai
Pasar Ciplak semua orang tahu siapa dia. Dia biasa menggunakan pakaian seadanya
di dalam lemari, seperti kaos atau kemeja, celana panjang dan dilengkapi topi
berwarna biru dongker. Dengan pakaiannya yang sederhana dia percaya diri untuk
mengelilingi daerah itu setiap malam.
Bejo terkenal berkat rasa ketopraknya yang tak mau hilang dari lidah
pembeli. Tanpa memakai mantra-mantra apa pun rasa ketoprak yang alami disukai
banyak orang.
Jika melihat dari masa kelam Bejo
hanya pekerja rotan biasa di kampungnya, Indramayu. Karena kejadian tahun1998
itu ia mengeluarkan diri sebagai tukang rotan karena upah yang tidak seimbang
dengan pengeluaran. Hanya sampai dua tahun ia berkerja di Indramayu lalu pada
tahun 2000 lelaki berkumis dan berjenggot tipis itu mengadu nasib ke Jakarta
sebagai pedagang ketoprak. “Awalnya saya meminjam uang sama bos untuk memenuhi
kebutuhan, tetapi lama-lama saya berpikir ingin pergi ke Jakarta saja untuk
mengikuti jejak kakak saya sebagai pedagang ketoprak. Saya juga tidak enak
dengan bos sudah ngutang banyak” , jelasnya.
Dengan keuletan bapak beranak dua itu dapat membeli sebuah rumah yang
terdiri dari tiga petak di Jakarta. Rumahnya berada dalam satu gang yang
setidaknya dapat dilalui satu mobil. Kita bisa langsung mengenali dengan
gerobak biru yang dipampang di depan rumah. Dalam petak pertama kita akan
menenui ruang TV yang lenggang, hanya ada satu TV berukuran 21 in di atas
sebuah lemari kayu. Ruang itu juga biasa untuk menaruh sato motor ketika malam
datang. Masuk lagi ke dalam, ruang itu adalah di mana keluarga Bejo
beristirahat. Hanya ada satu kasur yang dapat ditempati tiga orang di ruang
itu. Tak tertinggal satu ruangan lagi untuk memasak dan mandi terletak paling
belakang yang hanya di batasi dengan dinding semen.
Hanya membutuhkan waktu dua tahun Bejo sudah memiliki banyak pelanggan.
Dari tahun 2002 itu Bejo masih berjualan dengan cara mengelilingi dari Gudang
Seng sampai Pasar Ciplak. Datang pada suatu waktu perut Bejo pernah dilingkari
celurit oleh preman-preman di daerah Gudang Seng, kejadian itu membuat istrinya
dan dirinya takut. Pada akhirnya Bejo
memutuskan untuk ngetem di samping
sebuah salon dekat rumahnya.
Tempat itu tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu sepi tetapi setiap
ia dagang pasti laku terjual. Untuk perlengkapan dagang Bejo hanya menyediakan
dua buah bangku panjang yang terbuat dari kayu dan gerobak berserta isinya. Bejo
memulai berdagang dari pukul tujuh malam sampai setengah satu. Para pelanggan
berasal dari berbagai macam umur dan sifat, dari yang muda sampai yang tua,
dari yang kaya hingga menengah ke bawah dan masih banyak lagi.
Jika waktu jualan tidak terlalu larut kadang istri Bejo suka
menemaninya. Mereka terlihat kompak saat melayani pesanan. Jika Bejo sedang
mengulek bumbu sang istri terlebih dahulu menggoreng tahu untuk mencampurkannya
dengan bahan yang lain.
Laki-laki berumur tiga puluh delapan itu diberkati dua orang anak
perempuan. Fitri anak paling bontot tengah duduk di bangku SD kelas empat,
sementara Rizki sedang dalam masa penerimaan murid baru di Aliyah di Indramayu.
Dia juga telah dipertemukan dengan seorang wanita tambun dan pendek pada waktu
masih tinggal di Indramayu yang sekarang menjadi istri satu-satunya. Istri Bejo
yang berumur tiga puluh enam tahun itu biasa memakai kerudung dan selalu
mendukung apa pun pilihan Bejo. “Saya mah ngikutin kemana dia pergi. Kalau
berhasil ya saya dukung”, jelas istri Bejo.
Semua orang berhak mendapatkan apa yang mereka inginkan demi hidup yang
lebih baik. Bejo bercita-cita mempunyai sebuah toko yang isinya bukan hanya
menjual ketoprak, rumah makan biasa orang bilang. Dengan segala keterbatasan
dia belum bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Banyak halangan yang
menghadang untuk mewujudkannya seperti tanah untuk toko, para pekerja, dan cara
pembangian keuntungan. “Saya berharap sih punya toko sendiri, tapi yang susah
itu mencari tanah dan pekerja. Saya juga belum ahli tentang masalah pembagian
keuntungan untuk para pekerja”, tutur Bejo.
Minggu, 25 Maret 2012
Tantangan atau Masalah?
Aku tinggal di sebuah sekolah Otonom berasrama. Hari itu bertepatan
dengan acara Maulid Nabi Muhamad SAW terpanjang se-Jakarta Timur. Acara Maulid
Nabi dilaksanakan di depan sekolahku. Sesudah magrib pintu depan sekolahku
sudah ditutup supaya tidak mengganggu acara itu. Sebelum magrib aku, dua
temanku dan satu adik dari temanku keluar sekolah. Sebelum itu kami
merencanakan bagaimana kami ber-empat bisa masuk lagi ke sekolah lewat dari
magrib.
Kami sudah bertekat untuk memanjat dinding sekolah supaya sampai dalam
sekolah. Saat itu tiba. Awalnya kami ingin memanjat lewat jendela ruangan Lab
komputer. Jika kami lewat jalan itu kami harus melewati kuburan, adik temanku
ketakutan jika harus lewat jalan itu. Ada satu jalan lagi yaitu melewati
jendela kantor sekolah. Kami menghubungi teman yang bisa membantu dari dalam
ruangan. Akhirnya Ghazali teman kami bersedia membantu untuk menolong. Satu per
satu dari kami harus menaiki meja dan bangku, lalu menanjat dinding hingga
menggapai jendela kantor yang berada di lantai dua.
Sebelum memanjat kami meminta izin kepada tetangga dan menjelaskan
kenapa kami melakukannya. Seorang bapak-bapak mengizinkan kami untuk memanjat,
tetapi ia agak takut kalau kami jatuh. Tapi kami mencoba meyakinkan bapak itu
dan ia percaya kalau kami tidak akan jatuh.
Pertama aku mencoba memanjat dinding dan hampir mematahkan genteng
tetangga. Entah bagaimana aku berhasil sampai dalam sekolah berkat bantuan
Ghazali yang menarikku dari dalam. Kedua giliran adik temanku yang kira-kira
umurnya delapan tahun, ia pun berhasil. Ketiga temanku yang memiliki berat
badan kira-kira 55 kg. Di sinilah puncak permasalahan kami. “Kreeek!!” Temanku itu
menginjak genteng tetangga hingga patah, tetapi dengan kehendak lain ia dapat
menggapai jendela kantor.
Seorang temanku yang masih ada di bawah pun meminta maaf kepada tetangga
yang menjadi korban. Kami berjanji untuk memperbaiki gentengnya pada esok
harinya. Terakhir temanku yang masih di bawah memanjat hingga ia berhasil tanpa
menambahkan kerusakan genteng itu.
Kami semua selamat dengan beberapa goresan yang menempel di tubuh akibat
tergeser genteng dan dinding. Perasaan tak enak kapada tetangga pun masih
melekat dalam pikiranku. Kami berencana akan memberi tahukan kejadian ini kepada
rektor dan pengurus sekolah barangkali mereka mau menerima alasan kami dan
membantu memperbaiki genteng tetangga.
Rabu, 04 Januari 2012
Diana dan Ratih
Saat itu tepatnya jarum pendek
ingin menuju ke angka sebelas, Diana sudah menyuap dua suapan tangannya.
Tiba-tiba telepon genggam qwerty berbunyi menandakan ada sebuah pesan yang
harus dibaca. Pesan singkat itu berbicara kalau Ratih, teman Diana sejak SMP
terjebak hujan dalam perjalanan pulang dari rumah Diana menuju rumahnya.
Bergegas Diana langsung mengambil dua buah payung yang berada tepat di depan
matanya. Salah satu payung itu berwarna merah jambu dan bentuknya seperti
tongkat orang buta. Lain dari itu berwarna merah ati dan dalamnya perak. Payung
yang itu harus ditarik gagangnya agar memanjang tak seperti payung merah jambu
yang tangkainya sudah menjulur panjang. Tanpa menunggu seorang pangeran
menemaninya Diana mengambil langkah besar-besar meninggalkan makanan yang belum
ia habiskan.
Gelegar petir dan derasnya hujan
setia menemani Diana yang sebenarnya
juga ketakutan akan itu. Dalam perjalanan Diana fokus menatap ke arah
depan, tak perduli genangan air dan lumpur-lumpur
lembek membasahi kaki dan celana pendek kotak-kotaknya. Kanan dan kiranya
terdapat pula pohon yang menjulang tinggi hingga ia tak berani menatap ke atas.
Tanpa ia sadar celana kotak-kotaknya sudah basah kuyup dan dekil akibat
percik-percik lumpur yang melekat. Setelah menyadari itu ia lebih cepat untuk
melangkah besar-besar.
Seorang perempuan yang mengikat
rambutnya sepanjang punggung memanggil Diana yang masih melangkah cepat-cepat.
Langkah Diana terhenti oleh Ratih yang sedari tadi menunggu kedatangan temannya
itu. Ratih yang ditemani seorang laki-laki berdarah minang itu tersenyum
melihat kedatangan Diana, mereka berdua ternyata sudah dari tadi menunggu
sambil kedinginan.
Mereka bertiga pun tak menunggu
lama untuk memutuskan menemani Ratih pulang sampai depan rumahnya. Tak sama
lainnya dengan perjalanan Diana menenui mereka, yang berbeda hanya celana Diana
lebih basah. Tak ada sama sekali
penghuni rumah yang duduk di depan rumah yang setiap kali mereka lewati. Mereka
lebih terlihat laiknya tiga babi tak berdosa saat menginjak lumpur.
Sebenarnya Diana sangat lelah ketika melihat rumah yang ingin dituju, tapi
mau apalagi saat itu pula ia harus pulang kembali menuju rumahnya dan
melanjutkan makanan yang belum habis.
Minggu, 27 November 2011
Awal dari Kebersamaan
Sudah lewat waktu-waktu yang membahagiakan. senyum, tawa, canda, dan ceria masih terkenang dalam hati dan pikiran. Sebuah karya telah kami persembahkan dengan segala usaha dan semangat, walau amarah sering terjadi tapi kami anggap sebagai pelajaran dan tak ingin mengulangnya kembali. Semua telah kami berikan demi menunjukan yang terbaik. Semua pun ikut merasakan apa yang telah kami berikan.
Sekarang yang ada hanya rasa rindu saat itu, dimana kami tertawa lepas. Rindu kebersamaan, rindu kekompakan, dan rindu keikhlasan. Aku yakin kita bisa bertemu lagi. Kita bisa membuat karya bersama-sama lagi.
Selamat Ulang Tahun yang ke 17 untuk Sanggar Anak Akar. Aku akan memberikan yang aku bisa dan aku punya untukmu.
Langganan:
Postingan (Atom)