Rabu, 20 Februari 2013

Senja


Dua mahasiswa sedang menari diiringi lagu cinta di depan gedung Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat senin (11/02). Pertunjukan Koreografi yang berjudul “Senja” tersebut digelar dalam rangka Ujian Koreografi oleh Ressa Rizky MH yang menekuni Fakultas Seni Pertunjukan di Institut Kesenian Jakarta. Pertunjukan Koreografi yang dimulai dari jam lima sore itu dihadiri oleh dosen pembimbing di tengah-tengah penonton.
Pertunjukan yang memakai panggung setengah lingkaran dan menjorok ke dalam dihadiri oleh teman-teman kampus sebagian banyak. Tata ruang pertunjukkan tersebut dihiasi oleh sebuah rumah rotan, kain putih 10x10m yang sudah dijulurkan dari mulai acara dan di setiap ujung panggung dikelilingi gelas plastik warna-warni. Ada sekuen di mana ada seorang pelukis yang tiba-tiba datang dan melukis di atas kain yang sudah tersedia lengkap sudah pertunjukan itu.



















Selasa, 17 Juli 2012

Keadilan


Langkah kakinya gontai
Menyebrang pulau membelah laut
Mahkluk sesamanya hiraukai ia
Aksinya menakutkan sesamanya
Semua untuk keadilan
Untuk ia dan anaknya
Ia gendong mayat si anak
Demi mencari sang keadilan
Terus menggendong menuju keadilan
Harapnya tak kunjung datang

Takdir Hidup



Aku masih ingat terlahir dikelilingi hutan
Bulan purnama ikut menyaksikan
Diiringi gemuruh awan hitam
Di atas gunung
Sifatku mirip mereka yang menggonggong
Tatapan tajam mata coklat
Terlihat disegani orang-orang lemah
Mereka takut akan fisik dan kebiasaanku
Mereka selalu bilang aku seperti serigala
Tidak!
Aku adalah aku yang terpaksa
Ini ingin takdir tanpa disengaja
Aku suka ini, hidup ini
Mencengkram jiwa-jiwa lemah
Aku terpaksa, suka akan keterpaksaan
Tak pernah tahu bagaimana
Bentuk sebuah perubahan
Mereka tak pernah mengajariku menjadi kupu-kupu
Disukai banyak orang dan indah melayang ke sana ke mari
Tak tahu kapan takdir ini berubah
Hingga ajal menjeput
Mata coklat masih melekat dalam diriku
Gigi taring tak pernah menjadi susu

Ketoprak untuk Hidup yang Lebih Baik




Laki-laki tambun dan pendek ini telah berhasil membahagiakan keluarga dari hutang-hutang dan hidup yang kelam.
Ketika menyebut nama “Bejo Ketoprak” dari daerah Gudang Seng sampai Pasar Ciplak semua orang tahu siapa dia. Dia biasa menggunakan pakaian seadanya di dalam lemari, seperti kaos atau kemeja, celana panjang dan dilengkapi topi berwarna biru dongker. Dengan pakaiannya yang sederhana dia percaya diri untuk mengelilingi daerah itu setiap malam.
Bejo terkenal berkat rasa ketopraknya yang tak mau hilang dari lidah pembeli. Tanpa memakai mantra-mantra apa pun rasa ketoprak yang alami disukai banyak orang.
Jika melihat dari masa kelam  Bejo hanya pekerja rotan biasa di kampungnya, Indramayu. Karena kejadian tahun1998 itu ia mengeluarkan diri sebagai tukang rotan karena upah yang tidak seimbang dengan pengeluaran. Hanya sampai dua tahun ia berkerja di Indramayu lalu pada tahun 2000 lelaki berkumis dan berjenggot tipis itu mengadu nasib ke Jakarta sebagai pedagang ketoprak. “Awalnya saya meminjam uang sama bos untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lama-lama saya berpikir ingin pergi ke Jakarta saja untuk mengikuti jejak kakak saya sebagai pedagang ketoprak. Saya juga tidak enak dengan bos sudah ngutang banyak” ,  jelasnya.
Dengan keuletan bapak beranak dua itu dapat membeli sebuah rumah yang terdiri dari tiga petak di Jakarta. Rumahnya berada dalam satu gang yang setidaknya dapat dilalui satu mobil. Kita bisa langsung mengenali dengan gerobak biru yang dipampang di depan rumah. Dalam petak pertama kita akan menenui ruang TV yang lenggang, hanya ada satu TV berukuran 21 in di atas sebuah lemari kayu. Ruang itu juga biasa untuk menaruh sato motor ketika malam datang. Masuk lagi ke dalam, ruang itu adalah di mana keluarga Bejo beristirahat. Hanya ada satu kasur yang dapat ditempati tiga orang di ruang itu. Tak tertinggal satu ruangan lagi untuk memasak dan mandi terletak paling belakang yang hanya di batasi dengan dinding semen.
Hanya membutuhkan waktu dua tahun Bejo sudah memiliki banyak pelanggan. Dari tahun 2002 itu Bejo masih berjualan dengan cara mengelilingi dari Gudang Seng sampai Pasar Ciplak. Datang pada suatu waktu perut Bejo pernah dilingkari celurit oleh preman-preman di daerah Gudang Seng, kejadian itu membuat istrinya dan dirinya takut.  Pada akhirnya Bejo memutuskan untuk ngetem di samping sebuah salon dekat rumahnya.
Tempat itu tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu sepi tetapi setiap ia dagang pasti laku terjual. Untuk perlengkapan dagang Bejo hanya menyediakan dua buah bangku panjang yang terbuat dari kayu dan gerobak berserta isinya. Bejo memulai berdagang dari pukul tujuh malam sampai setengah satu. Para pelanggan berasal dari berbagai macam umur dan sifat, dari yang muda sampai yang tua, dari yang kaya hingga menengah ke bawah dan masih banyak lagi.
Jika waktu jualan tidak terlalu larut kadang istri Bejo suka menemaninya. Mereka terlihat kompak saat melayani pesanan. Jika Bejo sedang mengulek bumbu sang istri terlebih dahulu menggoreng tahu untuk mencampurkannya dengan bahan yang lain.
Laki-laki berumur tiga puluh delapan itu diberkati dua orang anak perempuan. Fitri anak paling bontot tengah duduk di bangku SD kelas empat, sementara Rizki sedang dalam masa penerimaan murid baru di Aliyah di Indramayu. Dia juga telah dipertemukan dengan seorang wanita tambun dan pendek pada waktu masih tinggal di Indramayu yang sekarang menjadi istri satu-satunya. Istri Bejo yang berumur tiga puluh enam tahun itu biasa memakai kerudung dan selalu mendukung apa pun pilihan Bejo. “Saya mah ngikutin kemana dia pergi. Kalau berhasil ya saya dukung”, jelas istri Bejo.
Semua orang berhak mendapatkan apa yang mereka inginkan demi hidup yang lebih baik. Bejo bercita-cita mempunyai sebuah toko yang isinya bukan hanya menjual ketoprak, rumah makan biasa orang bilang. Dengan segala keterbatasan dia belum bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Banyak halangan yang menghadang untuk mewujudkannya seperti tanah untuk toko, para pekerja, dan cara pembangian keuntungan. “Saya berharap sih punya toko sendiri, tapi yang susah itu mencari tanah dan pekerja. Saya juga belum ahli tentang masalah pembagian keuntungan untuk para pekerja”, tutur Bejo.

Minggu, 25 Maret 2012

Tantangan atau Masalah?


Aku tinggal di sebuah sekolah Otonom berasrama. Hari itu bertepatan dengan acara Maulid Nabi Muhamad SAW terpanjang se-Jakarta Timur. Acara Maulid Nabi dilaksanakan di depan sekolahku. Sesudah magrib pintu depan sekolahku sudah ditutup supaya tidak mengganggu acara itu. Sebelum magrib aku, dua temanku dan satu adik dari temanku keluar sekolah. Sebelum itu kami merencanakan bagaimana kami ber-empat bisa masuk lagi ke sekolah lewat dari magrib.
Kami sudah bertekat untuk memanjat dinding sekolah supaya sampai dalam sekolah. Saat itu tiba. Awalnya kami ingin memanjat lewat jendela ruangan Lab komputer. Jika kami lewat jalan itu kami harus melewati kuburan, adik temanku ketakutan jika harus lewat jalan itu. Ada satu jalan lagi yaitu melewati jendela kantor sekolah. Kami menghubungi teman yang bisa membantu dari dalam ruangan. Akhirnya Ghazali teman kami bersedia membantu untuk menolong. Satu per satu dari kami harus menaiki meja dan bangku, lalu menanjat dinding hingga menggapai jendela kantor yang berada di lantai dua.
Sebelum memanjat kami meminta izin kepada tetangga dan menjelaskan kenapa kami melakukannya. Seorang bapak-bapak mengizinkan kami untuk memanjat, tetapi ia agak takut kalau kami jatuh. Tapi kami mencoba meyakinkan bapak itu dan ia percaya kalau kami tidak akan jatuh.
Pertama aku mencoba memanjat dinding dan hampir mematahkan genteng tetangga. Entah bagaimana aku berhasil sampai dalam sekolah berkat bantuan Ghazali yang menarikku dari dalam. Kedua giliran adik temanku yang kira-kira umurnya delapan tahun, ia pun berhasil. Ketiga temanku yang memiliki berat badan kira-kira 55 kg. Di sinilah puncak permasalahan kami. “Kreeek!!” Temanku itu menginjak genteng tetangga hingga patah, tetapi dengan kehendak lain ia dapat menggapai jendela kantor.
Seorang temanku yang masih ada di bawah pun meminta maaf kepada tetangga yang menjadi korban. Kami berjanji untuk memperbaiki gentengnya pada esok harinya. Terakhir temanku yang masih di bawah memanjat hingga ia berhasil tanpa menambahkan kerusakan genteng itu.
Kami semua selamat dengan beberapa goresan yang menempel di tubuh akibat tergeser genteng dan dinding. Perasaan tak enak kapada tetangga pun masih melekat dalam pikiranku. Kami berencana akan memberi tahukan kejadian ini kepada rektor dan pengurus sekolah barangkali mereka mau menerima alasan kami dan membantu memperbaiki genteng tetangga.

Rabu, 04 Januari 2012

Diana dan Ratih


Saat itu tepatnya jarum pendek ingin menuju ke angka sebelas, Diana sudah menyuap dua suapan tangannya. Tiba-tiba telepon genggam qwerty berbunyi menandakan ada sebuah pesan yang harus dibaca. Pesan singkat itu berbicara kalau Ratih, teman Diana sejak SMP terjebak hujan dalam perjalanan pulang dari rumah Diana menuju rumahnya. Bergegas Diana langsung mengambil dua buah payung yang berada tepat di depan matanya. Salah satu payung itu berwarna merah jambu dan bentuknya seperti tongkat orang buta. Lain dari itu berwarna merah ati dan dalamnya perak. Payung yang itu harus ditarik gagangnya agar memanjang tak seperti payung merah jambu yang tangkainya sudah menjulur panjang. Tanpa menunggu seorang pangeran menemaninya Diana mengambil langkah besar-besar meninggalkan makanan yang belum ia habiskan.
Gelegar petir dan derasnya hujan setia menemani Diana yang sebenarnya  juga ketakutan akan itu. Dalam perjalanan Diana fokus menatap ke arah depan, tak perduli  genangan air dan lumpur-lumpur lembek membasahi kaki dan celana pendek kotak-kotaknya. Kanan dan kiranya terdapat pula pohon yang menjulang tinggi hingga ia tak berani menatap ke atas. Tanpa ia sadar celana kotak-kotaknya sudah basah kuyup dan dekil akibat percik-percik lumpur yang melekat. Setelah menyadari itu ia lebih cepat untuk melangkah besar-besar.
Seorang perempuan yang mengikat rambutnya sepanjang punggung memanggil Diana yang masih melangkah cepat-cepat. Langkah Diana terhenti oleh Ratih yang sedari tadi menunggu kedatangan temannya itu. Ratih yang ditemani seorang laki-laki berdarah minang itu tersenyum melihat kedatangan Diana, mereka berdua ternyata sudah dari tadi menunggu sambil kedinginan.
Mereka bertiga pun tak menunggu lama untuk memutuskan menemani Ratih pulang sampai depan rumahnya. Tak sama lainnya dengan perjalanan Diana menenui mereka, yang berbeda hanya celana Diana lebih basah. Tak ada sama sekali penghuni rumah yang duduk di depan rumah yang setiap kali mereka lewati. Mereka lebih terlihat laiknya tiga babi tak berdosa saat menginjak lumpur.
Sebenarnya Diana sangat lelah ketika melihat rumah yang ingin dituju, tapi mau apalagi saat itu pula ia harus pulang kembali menuju rumahnya dan melanjutkan makanan yang belum habis.

Minggu, 27 November 2011

Awal dari Kebersamaan

Sudah lewat waktu-waktu yang membahagiakan. senyum, tawa, canda, dan ceria masih terkenang dalam hati dan pikiran. Sebuah karya telah kami persembahkan dengan segala usaha dan semangat, walau amarah sering terjadi tapi kami anggap sebagai pelajaran dan tak ingin mengulangnya kembali. Semua telah kami berikan demi menunjukan yang terbaik. Semua pun ikut merasakan apa yang telah kami berikan.

Sekarang yang ada hanya rasa rindu saat itu, dimana kami tertawa lepas. Rindu kebersamaan, rindu kekompakan, dan rindu keikhlasan. Aku yakin kita bisa bertemu lagi. Kita bisa membuat karya bersama-sama lagi.


Selamat Ulang Tahun yang ke 17 untuk Sanggar Anak Akar. Aku akan memberikan yang aku bisa dan aku punya untukmu.