Laki-laki tambun dan pendek ini telah berhasil
membahagiakan keluarga dari hutang-hutang dan hidup yang kelam.
Ketika menyebut nama “Bejo Ketoprak” dari daerah Gudang Seng sampai
Pasar Ciplak semua orang tahu siapa dia. Dia biasa menggunakan pakaian seadanya
di dalam lemari, seperti kaos atau kemeja, celana panjang dan dilengkapi topi
berwarna biru dongker. Dengan pakaiannya yang sederhana dia percaya diri untuk
mengelilingi daerah itu setiap malam.
Bejo terkenal berkat rasa ketopraknya yang tak mau hilang dari lidah
pembeli. Tanpa memakai mantra-mantra apa pun rasa ketoprak yang alami disukai
banyak orang.
Jika melihat dari masa kelam Bejo
hanya pekerja rotan biasa di kampungnya, Indramayu. Karena kejadian tahun1998
itu ia mengeluarkan diri sebagai tukang rotan karena upah yang tidak seimbang
dengan pengeluaran. Hanya sampai dua tahun ia berkerja di Indramayu lalu pada
tahun 2000 lelaki berkumis dan berjenggot tipis itu mengadu nasib ke Jakarta
sebagai pedagang ketoprak. “Awalnya saya meminjam uang sama bos untuk memenuhi
kebutuhan, tetapi lama-lama saya berpikir ingin pergi ke Jakarta saja untuk
mengikuti jejak kakak saya sebagai pedagang ketoprak. Saya juga tidak enak
dengan bos sudah ngutang banyak” , jelasnya.
Dengan keuletan bapak beranak dua itu dapat membeli sebuah rumah yang
terdiri dari tiga petak di Jakarta. Rumahnya berada dalam satu gang yang
setidaknya dapat dilalui satu mobil. Kita bisa langsung mengenali dengan
gerobak biru yang dipampang di depan rumah. Dalam petak pertama kita akan
menenui ruang TV yang lenggang, hanya ada satu TV berukuran 21 in di atas
sebuah lemari kayu. Ruang itu juga biasa untuk menaruh sato motor ketika malam
datang. Masuk lagi ke dalam, ruang itu adalah di mana keluarga Bejo
beristirahat. Hanya ada satu kasur yang dapat ditempati tiga orang di ruang
itu. Tak tertinggal satu ruangan lagi untuk memasak dan mandi terletak paling
belakang yang hanya di batasi dengan dinding semen.
Hanya membutuhkan waktu dua tahun Bejo sudah memiliki banyak pelanggan.
Dari tahun 2002 itu Bejo masih berjualan dengan cara mengelilingi dari Gudang
Seng sampai Pasar Ciplak. Datang pada suatu waktu perut Bejo pernah dilingkari
celurit oleh preman-preman di daerah Gudang Seng, kejadian itu membuat istrinya
dan dirinya takut. Pada akhirnya Bejo
memutuskan untuk ngetem di samping
sebuah salon dekat rumahnya.
Tempat itu tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu sepi tetapi setiap
ia dagang pasti laku terjual. Untuk perlengkapan dagang Bejo hanya menyediakan
dua buah bangku panjang yang terbuat dari kayu dan gerobak berserta isinya. Bejo
memulai berdagang dari pukul tujuh malam sampai setengah satu. Para pelanggan
berasal dari berbagai macam umur dan sifat, dari yang muda sampai yang tua,
dari yang kaya hingga menengah ke bawah dan masih banyak lagi.
Jika waktu jualan tidak terlalu larut kadang istri Bejo suka
menemaninya. Mereka terlihat kompak saat melayani pesanan. Jika Bejo sedang
mengulek bumbu sang istri terlebih dahulu menggoreng tahu untuk mencampurkannya
dengan bahan yang lain.
Laki-laki berumur tiga puluh delapan itu diberkati dua orang anak
perempuan. Fitri anak paling bontot tengah duduk di bangku SD kelas empat,
sementara Rizki sedang dalam masa penerimaan murid baru di Aliyah di Indramayu.
Dia juga telah dipertemukan dengan seorang wanita tambun dan pendek pada waktu
masih tinggal di Indramayu yang sekarang menjadi istri satu-satunya. Istri Bejo
yang berumur tiga puluh enam tahun itu biasa memakai kerudung dan selalu
mendukung apa pun pilihan Bejo. “Saya mah ngikutin kemana dia pergi. Kalau
berhasil ya saya dukung”, jelas istri Bejo.
Semua orang berhak mendapatkan apa yang mereka inginkan demi hidup yang
lebih baik. Bejo bercita-cita mempunyai sebuah toko yang isinya bukan hanya
menjual ketoprak, rumah makan biasa orang bilang. Dengan segala keterbatasan
dia belum bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya. Banyak halangan yang
menghadang untuk mewujudkannya seperti tanah untuk toko, para pekerja, dan cara
pembangian keuntungan. “Saya berharap sih punya toko sendiri, tapi yang susah
itu mencari tanah dan pekerja. Saya juga belum ahli tentang masalah pembagian
keuntungan untuk para pekerja”, tutur Bejo.